SASTRA PEDHALANGAN
Sastra Pedalangan
Sastra
Pedalangan
Sastra pedalangan adalah rekabahasa dalang dalam pakeliran atau pergelaran wayang. Rekabahasa dalang tersebut adalah murwa atau
pelungan, nyandra janturan dan pocapan, suluk , antawacana, sabetan, suara, dan
tembang.
Murwa
Suluk
pembuka pakeliran wayang, dalam pedalangan Jawa Timur dikenal dengan istilah
pelungan, di Jawa Tengah dikenal
dengan istilah ilahengan, dan di Jawa Barat dikenal dengan istilah
murwa. Di bawah ini adalah contoh murwa pendek:
Kembang sungsang binang kunang
Cahaya nira kadya gilang gumilang
Sedangkan
contoh murwa panjang seperti di bawah ini:
Adam adam babuh lawan
Ingkang ngagelaraken cahya nur cahya
Dangiang wayang wayanganipun
Perlambang alam sadaya
Semar sana ya danar guling
Basa sem pangangen-angen
Mareng ngemaraken Dzat Kang Maha Tunggal
Wayang agung wineja wayang tunggal
Wayang tunggal
Nyandra
Nyandra
adalah deskripsi adegan dengan menggunakan bahasa prosa pakeliran
wayang. Ada dua jenis nyandra, yaitu janturan dan pocapan. Janturan adalah
nyandra yang diiringi gamelan; sedangkan
pocapan tidak diiringi gamelan. Di bawah ini adalah contoh nyandra gubahan Ki
Harsono Siswocarito dari pedalangan Jawa Barat:
Sinareng nira kenya pertangga, watri gumanti sang
hyang latri kapundut ima-ima gambura kalawan ancala. Gambura itu awal, ancala
di puncak gunung, si Walangtunggal pertanda cerita bertatahkan asta gangga wira
tanu patra. Asta itu tangan, gangga itu air, wira itu mumpuni, tanu itu tinta,
patra itu kata.
Kata dan tinta dibuat aksara wilanjana wilanjani.
Wilanjana itu abjad aksara Ha, wilanjani itu abjad aksara Alip. Aksara Alip
disebar di belahan Barat, menjadi aksara tiga puluh, Alip ba ta sa. Jangan
menamatkan aksara Alip, bukan tempatnya meng-urusi aksara Alip. Melenyapkan
aksara Alip, mengeluarkan aksara Ha. Aksara Ha disebar di belahan Timur, jatuh
di taanah Jawa, dibuat aksara kalih dasa, kalih dua, dasa sepuluh, aksara dua
puluh dibagi empat mazhab, yaitu:
Ha na ca ra ka itu timur, da ta sa wa la itu selatan,
pa da ja ya nya itu barat, ma ga ba ta nga itu utara. Ha na ca ra ka itu yang
memerintah, da ta sa wa la itu yang diperintah, pa da ja ya nya itu buruk
hatinya, ma ga ba ta nga itu tidak bisa disebut. Aksara sudah mati di sebelah
utara.
Melenyapkan aksara dua puluh, mengeluarkan lagi
aksara, wulanjana wulanjani. Wulanjana itu si rama, wulanjani itu sir ibu. Sir
rama jatuh ke dalam sir ibu, masuk ke dalam kenya puri. Kenya itu artinya
wadah, puri yaitu artinya keraton.
Keraton mana yang menjadi pembuka? Keraton …… yang
dipakai pembuka. Dasar negara panjang punjung pasir wukir loh jinawi. Panjang
itu banyak dibicarakan, punjung itu luhur wibawanya, pasir itu samudra, wukir
yaitu gunung, loh jinawi artinya kaya, tak kurang sandang dan pangan, intan
berlian.
Siapa yang menjadi raja? Sang raja duduk di kursi
gading gilang kencana bermahkota binokasri bertatahkan permata. Memakai gelung
gono, gelung gongsor, kelat bahu kempal dada, menyandang keris kiai Jagapati,
pendok berukir ketumbar semebar, amar-amaran-nya sutra kuning, sutra putih,
sutra hitam, sutra merah, dodot gresik wayang.
Orang mendalang itu dora sembada, dora itu bohong,
sembada itu pantas. Apa sebabnya menjadi pantas? Ada buktinya. Apa buktinya?
Adanya wayang purwa. Wayang itu artinya bayangan, purwa itu permulaan. Hanya
mengikuti alur terdahulu, merunut jejak lama, orang tua memulai, orang muda
hanya melakukan.
Hanya bedanya wayang dahulu kala diganti dengan golek.
Apa artinya istilah golek, disenggol matinya tergeletak, mendongkol matanya
melek. Tapi kata golek menurut bahasa Jawa artinya cari. Cari apanya, cari
asal-usulnya, sebab golek itu tidak berbeda dengan manusia. Hus gegabah golek
sampai disamakan dengan manusia. Bukankah golek itu kayu, diukir, dicet menjadi
boneka. Kenapa boneka bisa bicara sendiri dan hidup? Golek itu usik tanpa usik,
gerak tanpa gerak, karena golek dibicarakannya itu oleh dalang. Tidak merasa
menjadi dalang, merasa juga mendalang, mendalangkan. Mendalangkan apa?
Mendalangkan katanya. Pembaca mau mencari hiburan, lumayan daripada ngantuk.
Gunung tanpa lereng tiada kera hitamnya. Yang panjang
dibuat pendek, yang pendek diputuskan, sebat kang genjotan.
Pocapan
Pocapan
adalah nyandra yang tidak diiringi gamelan untuk menceritakan peristiwa
dalam adegan.
Di bawah ini adalah contoh pocapan dalam lakon Jaya Renyuan garapan dalang Dede
Amung Sutarya:
Padmanegara nyandak dua hulusapu bade dicipta ku
Kresna. Atuh Kresna rep sidakep ana sinuku tunggal babakane caturdriya--catur
papat, driya angen-angen, sir budi cipta kalawan rasa. Pangambung teu diangge
ngangse; soca teu diangge ningal; cepil teu diangge ngarungu; baham teu diangge
ngucap lir ibarat anu paeh ngadeg, nanging bentena pedah ngangge ambegan.
Nanging tadige manggahing nu Mahakawasa teu weleh
nganter ka manusa rek hade rek goreng asal tanggel jawab dirina pribadi.
Maksudna diduluran, maksadna diijabah. Ilang dua hulu sapu, janggelek dados
ponggawa, anu hiji dados satria.
Suluk
Suluk adalah
citra bahasa puisi yang dinyanyikan oleh ki dalang
dalam pakeliran wayang. Di bawah ini adalah contoh suluk dari pedalangan Jawa
Barat.
Saur nira tandana panjang
Sinenggih sabda ya uninga lawan
Sabda ya uninga lawan
Sauri nira tandana panjang sinengih
Sabda uninga wis mama
Ulun layu dening sekti ala bakti dening asih
Ya ding asih
Wong asih ora katara
Antawacana
Antawacana
adalah dialog antar-tokoh wayang. Sedangkan
antawacana antara tokoh wayang dengan nayaga, wirasuara, atau jurukawih
dinamakan dialog samping (aside). Antawacana biasanya disampaikan setelah
pocapan. Di bawah ini contoh dialog dalam lakon Jaya Renyuan garapan dalang
Dede Amung Sutarya:
KRESNA: Eladalah, Yayi, Yayi Setyaki.
SETYAKI: Kaula nun.
KRESNA: Kakang Patih Udawa.
UDAWA: Lo, lo, lo, Hahahah… pun kakang Patih Udawa.
KRESNA: Marajeng ka payun calikna.
SETYAKI: Ti payun anu kapihatur pun rayi nyanggakeun
sembah pangabakti mugiya ditampi.
KRESNA: Sembah Rayi ditampi kudua panangan kiwa
kalawan tengen, disimpen di luhur dina embun-embunan, di handap dina pangkonan,
dicatet dina tungtung emutan anu teu keuna kuowah gingsir.
\ Sabetan
Sabetan
adalah gerak wayang yang meliputi tarian, lakuan, dan lagaan. Tari wayang
adalah gerak wayang yang diiringan nyanyian dan gamelan. Lakuan adalah gerak
wayang yang hanya diiringan kecrek atau kendang. Sedangkan lagaan adalah gerak
wayang dalam peperangan baik dengan iringan gamelan maupun hanya diiringi kecrek
dan kendang.
Suara
Suara dapat
berupa teriakan, jeritan, aduhan, tobatan, atau bunyi tiruan yang berupa
onomatopia. Suara merupakan pelengkap sabetan lagaan. Di bawah ini adalah suara
yang diambil dari lakonet Ki Harsono Siswocarito:
Tembang adalah nyanyian yang
dilantunkan oleh pesinden, wirasuara, atau dalang. Tembang pembuka pakeliran
dilantunkan oleh pesinden. Tembang
pengiring pakeliran dilantunkan oleh pesinden dan wirasuara. Tembang dalam
adegan Limbukan dan Gara-gara dilantunkan oleh dalang yang berkolaborasi dengan
pesinden atau bintang tamu. Di bawah ini adalh tembang pembuka dari pedalangan
Jawa Barat:
Sampurasun dulur-dulur
Nu aya di pilemburan
Wilujeng patepang dangu
Ti abdi saparakanca
Ti abdi saparakanca
Gamelan Munggul Pawenang
Nyanggakeun hiburanana, Juragan
La mugiya janten panglipur
Pangbeberah duh kana manah
Sedangkan
tembang berikut ini adalah yang dinyanyikan oleh dalang Dede Amung Sutarya
dalam lakon Jaya Renyuan "Lagu Nu Ngusep".
Mantra
Mantra atau sastra mantra pedalangan ada dua
kategori. Pertama, mantra yang berupa doa ki dalang dalam penyelenggaraan
pakeliran. Kedua, mantra yang berupa rapalan tokoh wayang dalam mengeluarkan
kesaktiannya. Contoh pertama berupa mantra pembuka pakeliran dari Mpu Tan
Akung:
Ingsun Angidhepa Sang Hyang Guru Reka,
Kamatantra: swaranku manikastagina.
Contoh kedua
berupa rapalan mantra penyirepan oleh tokoh wayang Indrajit:
Rep sirep si Megananda
Wong sarewu padha tumut
Salaksa wong serah nyawa
Cerita
Cerita
pedalangan bersumber pada cerita pakem, carangan,gubahan,dan sempalan. Sumber
cerita pakem antara lain [[Mahabarata versi India ], Ramayana, Serat Pustaka Rajapurwa lakon wayang gagrak Surakarta , Serat Purwakandha lakon wayang gagrak Yogjakarta untuk
wayang purwa. Sedangkan untuk wayang madya dan wayang wasana bersumber pada
cerita-cerita babad. Wayang wahyu bersumber pada cerinta-cerita injil. Sumber
cerita carangan adalah kreasi baru ki dalang dengan mengacu pada pakem. Cerita
gubahan berupa adaptasi atau pembaharuan yang sesuai dengan zaman. Cerita
sempalan merupakan kreasi murni yang mengarah kepada gaya baru dalam
pedalangnan.Keanekaragaman sumber cerita sastra pedalangan menunjukan kekayaan
budaya pewayangan Indonesia.
Sastra
pedalangan tentu saja banyak ragamnya. Hal ini menunjukkan kebinekaan sastra
pedalangan Indonesia. Ada pedalangan Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali,
Lombok, Banjar, dan sebagainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar