1. religius, eling sangkan paraning dumadi
Manusia Jawa berkeyakinan bahwa urip ana sing nguripake (hidup ada yang menghidupkan) dan
suatu saat akan kembali kepada yang menghidupkan, yaitu Tuhan. Oleh karena
manusia berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan, maka manusia harus
bersiap untuk mempertanggungjawabkan segala perbuatannya selama hidup. Nasihat eling sangkan paraning dumadi menjadi pengingat agar manusia selalu
menjaga sikap dan perbuatan di dunia karena kelak akan diminta pertanggungjawabannya
di hadapan Tuhan. Sehingga dalam menjalani hidup manusia Jawa akan senantiasa golek dalan padhang, berbuat
lurus, tidak melakukan hal-hal yang dilarang Tuhan. Sikap-sikap tersebut
menunjukkan religiusitas masyarakat Jawa.
2. urip samadya
Dalam
menjalani hidup, orang Jawa memegang prinsip urip samadya. Dengan sikap samadya manusia
akan dapat mengukur kemampuannya, tidak memaksakan kehendak untuk meraih
sesuatu yang tidak mungkin diraihnya. Sikap hidup samadya menjauhkan seseorang dari perbuatan
yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan yang diinginkannya. Prinsip
hidup ini juga melahirkan sikap nrima ing pandum, menerima segala yang diberikan Yang
Maha Kuasa. Namun demikian, tidak berarti sikap hidup samadya dan nrima ing pandum ini
diisi dengan bermalas-malasan, tanpa mau berusaha.
3. memiliki watak rereh, ririh, dan ngati-ati.
Rereh, artinya sabar dan bisa mengekang diri. Ririh, artinya tidak tergesa-gesa dalam
bertindak, mempunyai pertimbangan matang untuk sebuah tindakan dan keputusan. Ngati-ati, artinya berhati-hati dalam bertindak
(Herusatoto, 2000:83). Dengan sikap rereh, ririh, dan ngati-ati, berarti manusia dapat
menguasai dirinya, menguasai nafsunya. Manusia akan sempurna bila dapat
menguasai nafsu. Sementara itu, orang yang dikuasai nafsu akan berbahaya bagi
orang-orang di sekitarnya. Dengan sikap rereh, ririh, dan ngati-ati tentu akan dapat melahirkan
penyelesaian yang baik.
4.
menjauhkan diri dan membenci watak adigang, adigung, adiguna.
Watak adigang adalah
watak sombong, karena mengandalkan kekayaan dan pangkat. Watakadigung adalah
watak sombong karena mengandalkan kepandaian dan kepintaran, lantas meremehkan
orang lain. Watak adiguna adalah
watak sombong karena mengandalkan keberanian dan kepintaran berdebat (Herusatoto,
2000:83). Sikap ini menjadikan seseorang bersikap sapa sira sapa ingsun,
yang merupakan gambaran sikap sombong. Oleh karena itu, sikap-sikap ini harus
dihindari. Seseorang justru harus bersikap ramah dan menghargai sesama manusia.
Jangan berlaku seolah-olah menjadi manusia yang ”paling”.
5. aja dumeh
Kata yang singkat ini mengandung ajaran yang sangat luas. Kata ini dapat
diterapkan dalam berbagai sikap dan perbuatan, misalnya aja dumeh pinter, aja dumeh
kuasa, aja dumeh kuwat, dan
sebagainya. Aja dumeh sangat
dekat dengan watak adigang, adigung, adiguna. Aja dumeh mengandung
maksud “jangan mentang-mentang”. Sikap hidup aja dumeh akan
membawa seseorang pada sikap rendah hati, sederhana, tidak merasa “paling”
dibandingkan dengan orang lain di sekitarnya.
6. mawas diri
Mawas diri adalah
tindakan untuk melihat ke dalam diri sendiri, mengukur nilai dan kemampuan
diri. Dengan mawas diri seseorang
akan selalu berupaya melihat kekurangan diri sendiri. Sikap ini menjauhkan
seseorang dari sikap merasa paling benar, sehingga tumbuh rasa saling
menghargai sesama. Menyadari bahwa diri tidak sempurna akan membuat
seseorang menjadi tidak mudah mencela orang lain. Mawas diri menjauhkan
seseorang dari sikap sombong.
7. tepa slira
Tepa slira berarti tenggang rasa, tolerasi,
menghargai orang lain, nepakke awake dhewe. Apabila kita merasa senang dan
bahagia jika orang lain berperilaku baik kepada kita, maka hendaknya kita juga
berusaha bersikap baik terhadap orang lain (Heru Satoto, 2000:94). Tepa slira adalah sikap individu untuk mengontrol
pribadinya berdasarkan kesadaran diri. (Suseno, 2001: 61) Wujud sikaptepa slira adalah
sikap menjaga hubungan baik dengan sesama sebagai anggota masyarakat. Seseorang
yang memiliki sikap tepa slira tidak
akan mburu menange
dhewe, nggugu karepe dhewe, dan nuhoni benere dhewe. Bila sikap tepa slira ini bisa dimiliki oleh setiap orang
maka akan tercipta kerukunan dalam masyarakat sehingga kehidupan akan lebih
damai.
8. unggah-ungguh
Unggah-ungguh merupakan salah satu bentuk etika atau
sikap manusia Jawa dalam menempatkan diri ketika bergaul dengan sesamanya.
Seseorang yang memiliki dan memahami sikap unggah-ungguh akan
mengetahui bagaimana cara bergaul dan berperilaku dengan orang yang lebih muda,
sederajat, lebih tua, atau yang memiliki jabatan tertentu, bahkan dalam situasi
tertentu. Dengan menerapkan unggah-ungguh dalam
bergaul maka akan tercipta hubungan yang harmonis. Seseorang yang memiliki unggah-ungguh akan dapat menempatkan diri dalam
menjalin pergaulan dengan orang lain sesuai dengan tempat dan situasinya, empan papan.
Istilah lain unggah-ungguh adalah suba sita.
9. jujur
Jujur merupakan karakter yang sifatnya universal. Masyarakat Jawa pun
menganggap sikap jujur sebagai etika yang harus dipegang teguh dan dimiliki
oleh setiap orang Jawa. Hal ini tercermin dalam ungkapan-ungkapan Jawa seperti, jujur bakal mujur,
artinya orang yang jujur akan mendapatkan keberuntungan. Kebalikannya adalah goroh growah, yaitu
orang yang berbohong akan mendapat kerugian. Akhir-akhir ini, ungkapan jujur bakal mujur sering diplesetkan menjadi jujur bakal ajur atau jujur bakal kojur. Hal ini tidak terlepas dari
kenyataan bahwa dalam kehidupan masyarakat dewasa ini sering terjadi fenomena
orang yang berperilaku jujur malah tidak beruntung, sementara yang tidak jujur
malah beruntung. Melihat kondisi ini maka perlu dipahamkan bahwa keberuntungan
yang didapatkan oleh orang jujur sesungguhnya tidak serta merta dan tidak hanya
bersifat fisik. Artinya keberuntungan itu bisa jadi baru didapatkannya kelak
dan hanya bisa dirasakan oleh batin. Oleh karena itu, sikap jujur jangan sampai
ditinggalkan dan tetap yakin bahwa becik ketitik ala ketara, kebaikan
akan terlihat dan keburukanpun akan tampak nyata.
10. rukun
Hidup rukun selalu menjadi dambaan manusia yang hidup bermasyarakat. Demikian
pula pada masyarakat Jawa yang juga mendambakan kehidupan yang selalu cinta
damai. Cinta damai dapat terwujud jika antarsesama anggota masyarakat tersebut
dapat hidup rukun. Sehingga dalam masyarakat Jawa terdapat ungkapan rukun agawe santosa,
yaitu bahwa hidup rukun sesama manusia akan membuat kehidupan menjadi sentosa.
11. kerja keras
Manusia Jawa tidak boleh lalai untuk selalu berupaya mencukupi kebutuhannya.
Oleh karena itu manusia Jawa harus senantiasa bekerja keras akan mampu hidup
mandiri dan layak tanpa bergantung pada belas kasihan orang lain. Sikap hidup
semacam ini tercermin dalam ungkapan Jawa sapa ubet, ngliwet yaitu
siapa yang kreatif dalam berusaha mencari rezeki, maka pasti akan mendapatkan
hasilnya. Di samping itu, dalam bekerja manusia Jawa juga berprinsip bahwa
bekerja tidak melihat pada besar kecilnya hasil yang harus diperoleh, tetapi
lebih mementingkan apa yang harus dikerjakan. Hasil menjadi perkara belakangan,
sebagaimana ungkapan sepi ing pamrih, rame ing gawe. Etos kerja ini sangat
luar biasa karena menunjukkan semangat pengabdian yang besar. Orang yang
bekerja dengan semangat pengabdian ini sangat diperlukan dalam membangun
bangsa.
13. tanggung jawab
Tanggung jawab merupakan sikap yang juga harus dimiliki oleh manusia Jawa.
Sehingga dalam masyarakat Jawa ditemukan juga ungkapan tinggal glanggang colong playu yang
arti harfiahnya meninggalkan gelanggang dan secara diam-diam melarikan diri.
Ungkapan ini merupakan sindiran bagi seseorang yang suka lepas tangan, cuci
tangan dari tanggung jawab yang seharusnya diembannya. Oleh karena itu,
perilaku tinggal glanggang colong playu harus dihindari karena merupakan
perilaku negatif dan jauh dari sikap ksatria sejati.
14. rumangsa melu handarbeni,
rumangsa wajib hangrungkebi
Merasa ikut memiliki, merasa wajib membela. Sikap ini wajib dimiliki oleh
setiap orang agar keadaan dan situasi terjaga dengan baik. Dengan merasa
memiliki orang akan punya keinginan untuk menjaga dan melestarikan serta
membela sesuatu yang menjadi miliknya. Sikap ini sangat tepat untuk ditanamkan
kembali pada generasi ditengah-tengah keterpurukan bangsa. Bila generasi muda
memiliki sikap ini mereka akan berupaya untuk turut berperan dalam memperbaiki
kondisi bangsa dan tidak justru merusak citra bangsa.
15. memayu hayuning bawana
Memayu berarti membuat selamat. Sedangkan bawana berarti bumi. Memayu hayuning bawana merupakan
sikap dan tindakan untuk menjaga keselamatan dan kelestarian bumi. Sikap ini
perlu ditanamkan pada semua orang, termasuk generasi muda agar kerusakan bumi
dapat dicegah sehingga bumi tetap lestari. Bila bumi terjaga maka manusia juga
terhindar dari bencana, seperti banjir, tanah longsor, kekeringan, dan
sebagainya. Memayu hayuning bawana juga bisa diterjemahkan sebagai sikap
dan tindakan menjaga keselamatan bumi dari segi ketenteraman dan kedamaian.
Jika penghuni bumi ini saling bertengkar dan berperang maka bumi pun akan
rusak.
Demikianlah
uraian mengenai beberapa etika dan sikap hidup yang ada dan berkembang dalam
masyarakat Jawa yang dapat digunakan sebagai sarana pembentuk karakter siswa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar